Meracik Makna

“Apapun alasan yang ada, saya memang senang menulis dan saya akan memenuhi keinginan saya untuk tetap menulis. Jika apa yang saya tulis adalah sesuatu yang benar maka alhamdulillah, tetapi jiika tidak maka astagfirullah. (Hasan alBanna)

Rabu, 28 November 2012


Bukan Jangan Banyak Bicara, tapi Banyak Bekerja dan Banyak Bicara

Mengintip Peran Kaum Agamis Konstruktif Nusa Tenggara Barat
Oleh: Multazam Zakaria


Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh di antara kamu, sungguh Dia akan menjadikan mereka menjadi pemimpin di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan pemimpin orang-orang sebelum mereka, dan sungguh Dia meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan sungguh Dia akan menggantikan ketakutan mereka dengan keamanan. Mereka menyembah-Ku, tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu. Dan barang siapa yang ingkar sesudah yang demikian itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”(QS. An-Nuur: 55)


Judul tulisan ini sebenarnya bukan murni dari hasil pemikiran penulis, melainkan terilhami dari sebuah artikel yang ditulis oleh founding father Ir. Soekarno. Beliau menulis artikel ini sebagai reaksi spontan terhadap golongan yang pada masa itu mengaku sebagai “kaum nasionalis konstruktif” yang menuduhnya terlalu banyak retorika, terlalu banyak pidato, atau bahasa kasarnya terlalu banyak omong, gembar-gembor di atas podium dan surat kabar tapi sedikit bertindak nyata atau bekerja. Beliau dengan tegas mengatakan dalam artikel yang ditulisnya itu bahwa banyak bicara itu sangatlah urgen untuk membangun semangat, menggugah kesadaran dan keinsafan politik, guna mengisi gedung kejiwaan yang kosong demi terbebasnya rakyat dari belenggu imperealisme.
Hemat penulis, rekaman jejak sejarah diatas tidak jauh beda dengan suhu politik dan kepemimpinan Nusa Tenggara Barat saat ini. Namun kali ini penulis tidak menitikberatkan  pada “kaum nasionalis konstruktif” melainkan “kaum agamis konstruktif”. Begitupula jika Ir. Soekarno dengan lantang menulis “Sekali lagi: Bukan ‘Djangan Banjak Bitjara, Bekerdjalah! Tetapi Banjak Bitjara dan Banjak Bekerdja” maka saya menulis “Bukan Jangan Banyak Bicara, Tapi Banyak Bekerja dan Banyak Bicara”, Karena sudah jelas dalam surat al-‘Ashr “Demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan saling memberikan wasiat dengan kebenaran dan dan saling berwasiat dengan kesabaran” saya kira urutannya sudah jelas, beriman, bekerja lalu bicara.
Istilah “kaum agamis konstruktif” ini sendiri merupakan istilah yang saya peruntukkan bagi orang-orang yang berasal dari latar belakang religius yang kental tapi juga memiliki peran penting terhadap pembangunan dan kemajuan daerah. Kalau istilah agamanya barangkali ini yang disebut dengan “sholih dan mushlih”. Sholih itu sendiri tidak memiliki arti yang sederhana, maknanya begitu kompleks tergantung dari  arah mana kita menerjemahkannya. Jika ditelusuri secara etimologi, maka sholih bisa diterjemahkah menjadi “orang yang baik”. Begitu pula baik, tidak sesederhana kosa kata yang kita gunakan setip hari. Kita akan lebih memahami arti sholih ini jika kita melihatnya dari akar kata sebenarnya, dimana sholih ini merupakan sebuah sebutan bagi orang yang taat beragama islam dan baik budi pekertinya. Jadi solih, sebenarnya bukan hanya bagaimana taat, tapi juga bagaimana berbuat. Lalu bagaimana dengan mushlih? Mushlih itu sendiri artinya orang sholih yang mampu merubah orang menjadi sholih. Istilah kekiniannya biasa disebut agent of change.
Jika kita berbicara tentang kaum agamis konstruktif Nusa Tenggar Barat, maka kita tidak akan terlepas dari sebuah kosa kata yang sangat berpengaruh yaitu “ulama” atau lebih akrab biasa disebut “tuan guru’. Peran penting tuan guru dalam pembangunan daerah sering dipandang sebelah mata. Tuan guru diidentikkan dengan kain surban dan mimbar, padahal tidak sesederhana itu. Jika kita kembali menilisik aliran sungai sejarah masa  lalu Nusa Tenggara Barat, maka kita tidak akan pernah mampu menanggalkan sebuah nama seorang tokoh kharismatik yaitu Tuan Guru Kiyai Hajji Zainuddin Abdul Majid. Peran beliau tidak bisa lagi ditutupi oleh tirai apapun jenisnya, entah kepentingan politik, kecurangan sosial atau apa saja. Peran, kiprah, dan sumbangsih pemikiran beliau yang sangat banyak membuat beliau kini menyejarah, dalam banyak bidang terutama sosial kemasyarakatan, pendidikan, dan politik. Pada bidang sosial, beliau mendirikan puluhan panti asuhan yang tersebar ke seluruh pelosok Nusa Tenggara Barat. Pada bidang pendidikan, tidak diragukan lagi, beliaulah yang telah mendirikan lembaga pendidikan pertama yang ada di Nusa Tenggara Barat. Pada bidang politik, saat itu beliau berkiprah sebagai konstituante (dari Masyumi) pada masa orde lama dan menjadi anggota Majlis Permusyawaratan Rakyat pada masa orde baru.
Tidak cukup itu, uraian diatas sengaja penulis sajikan sebagiai bahan refreshing kita agar tidak terlalu cepat pikun sejarah. Maka sekarang kita akan kembali menilisik peran tuan guru masa kini. Mulai dari pembenahan moral, karakter, kejiwaan dan ternyata tidak sedikit juga yang memilih peran sebagai penjaga kelestarian alam. Terbukti dengan terbentukknya LSM-LSM yang bergerak pada bidang itu, diantaranya adalah GERBANG MASAKINI (Gerakan Membangun Masyarakat Kaki Rinjani) dan lembaga-lembaga lainnya yang dipelopori oleh tuan guru.
Begitu juga pada bidang politik, tidak dapat dielakkan lagi peran dan prestasi tuan guru. Terbukti dengan terpilihnya Tuan Guru Bajang Dr. Muhammad Zainul Majdi, MA sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat tahun 2008, banyak prestasi dan penghargaan yang telah diraih beliau. Diantaranya pembenahan infrastruktur, mulai dari jalan ujung barat Lombok hingga ujung timur Bima, Bandara Internasional Lombok yang kian maju, Berdirinya Islamic Centre yang tidak lama lagi pembangunannya akan selesai, pelabuhan yang semakin bagus, meningkatnya populasi ternak sapi sebagai ikhtiar mewujudkan NTB Bumi Sejuta Sapi, dan banyak lagi prestasi-prestasi lainnya atas pencapaian program-program unggulan yang telah dicanangkan.
Maka sangatlah tidak bijak jika ada yang mengatakan bahwa tuan guru tidak boleh masuk pemerintahan, justru hemat penulis bahwa tua guru wajib memegang pemerintahan. Kembali kepada ayat al-Qur’an yang saya sajikan diatas (QS. Annur: 55). Ada baiknya jika kita kembali mengingat petuah Imam al-Ghazali, beliau menuturkan “ Agama dan kekuasaan (al-Sulthan) adalah dua saudara kembar, dimana agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaganya”. Segala sesuatu yang tidak berpondasi pasti tidak akan bertahan lama, akan runtuh dalam kedipan waktu.
Wallahu’alam

sumber: Koran Radar Lombok edisis 27-28 November 2012

0 komentar:

Posting Komentar