Bukan Jangan Banyak Bicara, tapi Banyak Bekerja dan Banyak Bicara
Mengintip Peran Kaum Agamis
Konstruktif Nusa Tenggara Barat
Oleh: Multazam Zakaria
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh di antara kamu, sungguh Dia akan menjadikan mereka menjadi pemimpin di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan pemimpin orang-orang sebelum mereka, dan sungguh Dia meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan sungguh Dia akan menggantikan ketakutan mereka dengan keamanan. Mereka menyembah-Ku, tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu. Dan barang siapa yang ingkar sesudah yang demikian itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”(QS. An-Nuur: 55)
Judul tulisan ini sebenarnya bukan
murni dari hasil pemikiran penulis, melainkan terilhami dari sebuah artikel
yang ditulis oleh founding father Ir. Soekarno. Beliau menulis artikel ini
sebagai reaksi spontan terhadap golongan yang pada masa itu mengaku sebagai
“kaum nasionalis konstruktif” yang menuduhnya terlalu banyak retorika, terlalu
banyak pidato, atau bahasa kasarnya terlalu banyak omong, gembar-gembor di atas
podium dan surat kabar tapi sedikit bertindak nyata atau bekerja. Beliau dengan
tegas mengatakan dalam artikel yang ditulisnya itu bahwa banyak bicara itu
sangatlah urgen untuk membangun semangat, menggugah kesadaran dan keinsafan
politik, guna mengisi gedung kejiwaan yang kosong demi terbebasnya rakyat dari
belenggu imperealisme.
Hemat penulis, rekaman jejak sejarah
diatas tidak jauh beda dengan suhu politik dan kepemimpinan Nusa Tenggara Barat
saat ini. Namun kali ini penulis tidak menitikberatkan pada “kaum nasionalis konstruktif” melainkan
“kaum agamis konstruktif”. Begitupula jika Ir. Soekarno dengan lantang menulis “Sekali
lagi: Bukan ‘Djangan Banjak Bitjara, Bekerdjalah! Tetapi Banjak Bitjara dan
Banjak Bekerdja” maka saya menulis “Bukan Jangan Banyak Bicara, Tapi Banyak
Bekerja dan Banyak Bicara”, Karena sudah jelas dalam surat al-‘Ashr “Demi
waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan kebajikan, dan saling memberikan wasiat dengan
kebenaran dan dan saling berwasiat dengan kesabaran” saya kira urutannya sudah
jelas, beriman, bekerja lalu bicara.
Istilah “kaum agamis konstruktif” ini
sendiri merupakan istilah yang saya peruntukkan bagi orang-orang yang berasal
dari latar belakang religius yang kental tapi juga memiliki peran penting
terhadap pembangunan dan kemajuan daerah. Kalau istilah agamanya barangkali ini
yang disebut dengan “sholih dan mushlih”. Sholih itu sendiri tidak memiliki
arti yang sederhana, maknanya begitu kompleks tergantung dari arah mana kita menerjemahkannya. Jika
ditelusuri secara etimologi, maka sholih bisa diterjemahkah menjadi “orang yang
baik”. Begitu pula baik, tidak sesederhana kosa kata yang kita gunakan setip
hari. Kita akan lebih memahami arti sholih ini jika kita melihatnya dari akar
kata sebenarnya, dimana sholih ini merupakan sebuah sebutan bagi orang yang
taat beragama islam dan baik budi pekertinya. Jadi solih, sebenarnya bukan
hanya bagaimana taat, tapi juga bagaimana berbuat. Lalu bagaimana dengan
mushlih? Mushlih itu sendiri artinya orang sholih yang mampu merubah orang
menjadi sholih. Istilah kekiniannya biasa disebut agent of change.
Jika kita berbicara tentang kaum
agamis konstruktif Nusa Tenggar Barat, maka kita tidak akan terlepas dari
sebuah kosa kata yang sangat berpengaruh yaitu “ulama” atau lebih akrab biasa
disebut “tuan guru’. Peran penting tuan guru dalam pembangunan daerah sering
dipandang sebelah mata. Tuan guru diidentikkan dengan kain surban dan mimbar,
padahal tidak sesederhana itu. Jika kita kembali menilisik aliran sungai
sejarah masa lalu Nusa Tenggara Barat,
maka kita tidak akan pernah mampu menanggalkan sebuah nama seorang tokoh
kharismatik yaitu Tuan Guru Kiyai Hajji Zainuddin Abdul Majid. Peran beliau
tidak bisa lagi ditutupi oleh tirai apapun jenisnya, entah kepentingan politik,
kecurangan sosial atau apa saja. Peran, kiprah, dan sumbangsih pemikiran beliau
yang sangat banyak membuat beliau kini menyejarah, dalam banyak bidang terutama
sosial kemasyarakatan, pendidikan, dan politik. Pada bidang sosial, beliau
mendirikan puluhan panti asuhan yang tersebar ke seluruh pelosok Nusa Tenggara
Barat. Pada bidang pendidikan, tidak diragukan lagi, beliaulah yang telah
mendirikan lembaga pendidikan pertama yang ada di Nusa Tenggara Barat. Pada
bidang politik, saat itu beliau berkiprah sebagai konstituante (dari Masyumi)
pada masa orde lama dan menjadi anggota Majlis Permusyawaratan Rakyat pada masa
orde baru.
Tidak cukup itu, uraian diatas
sengaja penulis sajikan sebagiai bahan refreshing kita agar tidak terlalu cepat
pikun sejarah. Maka sekarang kita akan kembali menilisik peran tuan guru masa
kini. Mulai dari pembenahan moral, karakter, kejiwaan dan ternyata tidak
sedikit juga yang memilih peran sebagai penjaga kelestarian alam. Terbukti
dengan terbentukknya LSM-LSM yang bergerak pada bidang itu, diantaranya adalah
GERBANG MASAKINI (Gerakan Membangun Masyarakat Kaki Rinjani) dan lembaga-lembaga
lainnya yang dipelopori oleh tuan guru.
Begitu juga pada bidang politik,
tidak dapat dielakkan lagi peran dan prestasi tuan guru. Terbukti dengan
terpilihnya Tuan Guru Bajang Dr. Muhammad Zainul Majdi, MA sebagai Gubernur
Nusa Tenggara Barat tahun 2008, banyak prestasi dan penghargaan yang telah
diraih beliau. Diantaranya pembenahan infrastruktur, mulai dari jalan ujung
barat Lombok hingga ujung timur Bima, Bandara Internasional Lombok yang kian
maju, Berdirinya Islamic Centre yang tidak lama lagi pembangunannya akan selesai,
pelabuhan yang semakin bagus, meningkatnya populasi ternak sapi sebagai ikhtiar
mewujudkan NTB Bumi Sejuta Sapi, dan banyak lagi prestasi-prestasi lainnya atas
pencapaian program-program unggulan yang telah dicanangkan.
Maka sangatlah tidak bijak jika ada
yang mengatakan bahwa tuan guru tidak boleh masuk pemerintahan, justru hemat
penulis bahwa tua guru wajib memegang pemerintahan. Kembali kepada ayat
al-Qur’an yang saya sajikan diatas (QS. Annur: 55). Ada baiknya jika kita
kembali mengingat petuah Imam al-Ghazali, beliau menuturkan “ Agama dan
kekuasaan (al-Sulthan) adalah dua saudara kembar, dimana agama adalah pondasi
dan kekuasaan adalah penjaganya”. Segala sesuatu yang tidak berpondasi pasti
tidak akan bertahan lama, akan runtuh dalam kedipan waktu.
Wallahu’alam
sumber: Koran Radar Lombok edisis 27-28 November 2012
0 komentar:
Posting Komentar