Meracik Makna

“Apapun alasan yang ada, saya memang senang menulis dan saya akan memenuhi keinginan saya untuk tetap menulis. Jika apa yang saya tulis adalah sesuatu yang benar maka alhamdulillah, tetapi jiika tidak maka astagfirullah. (Hasan alBanna)

Senin, 12 November 2012

Pencium Kaki Tuhan,

Sepenggal Kisah Perjalanan Spritual
Oleh: Multazam Zakaria


“Kucium kaki Tuhanku berlama-lama, kunikmati harumnya. Hingga tak kurasa sajadahku basah berlumur darah. Darah yang tidak merah, bukan darah marah, hanya darah yang tak akan pernah tercatat sejarah. Karana darah ini darah cumbuku”
********

Saat ia menyantri dan menemukan titik Tanya?
Sebut saja namanya Yusuf al-Rijly, remaja berwajah gelap berpostur tubuh tidak tinggi. Ia mulai nyantri sejak kelas satu sekolah menengah pertama hingga tamat sekolah menengah atas. Sejak itulah ia mulai banyak mengenal ilmu agama yang setiap hari diberikan para guru. Dari sekian banyak banyak cabang ilmu agama yang dipelajari, ia paling tertarik dengan ilmu akhlak atau yang sering diidentikkan dengan ilmu tasawwuf. Tak ada pelajaran khusus yang membahas ilmu tasawwuf sebenarnya yang ia dapatkan. Tapi sedikit tidak hobinya yang sering berpacaran dengan berbagai macam buku banyak mengenalkannya dengan ilmu tasawwuf. “Yang paling berat timbangannya adalah akhlak, yang paling dekat duduk dengan Rasulullah saw kelak di surga adalah ummatnya yang paling baik akhlaknya, Sesungguhnya nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Kurang lebih inilah landasan utama mengapa Yusuf al-Rijly sangat menggemari pelajaran ini.


Malam beranjak pergi, mataharipun masih setia menjalankan titah Rajanya. Riah-riuh suara hafalan santri setiap pagi memiliki kesan tersendiri. Hari-hari di pesantren ia jalani dengan penuh suka cita meski kadang sering berduka cita dengan dirinya sendiri. ia dikenal sebagai santri yang santun lagi hormat pada gurunya, terutama pada bapak kiyai pengasuh pesantren. Ia banyak belajar ilmu hikmah dari kiyainya, wajarlah bila ia sangat menghormati sang kiyai. Disamping sang kiyai sendiri dikenal masyarakat sebagai peribadi berbudipekerti yang luhur, peduli dan bijaksana. Hampir tak pernah ada santri yang melihatnya marah, apalagi sampai memukul. Ia lebih sering mengajar dengan contoh sehingga sang kiyai sangat disegani oleh semua kalangan, santri, keluarga, dan masyarakat.
Sehingga tidak mengherankan Yusuf al-Rijly sebagai salah satu santri sang kiyai bercita-cita kelak ingin menjadi sosok seperti sang kiyainya.

***********

Saat ia mulai lebih akrab dengan dosa karena salah kafrah, saat gelap.
Rupanya iblis tidak pernah puas hingga seorang hamba betul-betul mengikutinya. Tak terkecuali Yusuf al-Rijly. Usianya yang kini semakin meremaja (17 Tahun) tentu merupakan sebuah tantangan tersendiri yang harus dilalui. Sama seperti remaja-remaj lainnya, usia ini adalah usia yang paling rentan terjangkiti virus cinta lawan jenis. Ia mulai merasa tertarik dengan seorang gadis seusianya. Berawal masa itu, ia mulai mengenal lebih dalam dunia percintaan. Percintaan dengan lawan jenis yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Cinta yang selama ini ia rawat untuk Allah kini telah terbagi kepada seorang gadis. Berawal masa inilah ia sering risau dengan rasa yang dialaminya sendiri. ia takut bila-bila nanti cintanya kepada gadis itu mengalahkan cintanya pada Allah. Kerisauan itupun terjadi, entah berapa ribu cara iblis menggodanya hingga masa itu ia hanya bagai seorang penyembah perempuan. Ia mulai jarang mendatangi Allah di pertiga malam. Bacaan-bacaan al-qurannya pun kini tak terlalu indah didengdangkannya, keindahan itu telah terampas dan berkumpul pada keindahan gadis yang dicintainya itu.

Ia menyadari betul keterpurukannya itu, kegersangan hati yang dialaminya saat itu sungguh menyiksanya. Ia mulai lebih senang menyendiri meratapi cintanya yang kini terampas gadis. Meratapi kasih yang dulu senantiasa terawat suci. Tapi rasa itu masih saja ia pendam sendiri, hingga suatu waktu ia pun mengungkapkannya. Tapi ia tak mengungkapkkanya pada gadis itu, ia mencintainya dalam diam. Kepada sang kiyailah Yusuf al-Rijly mengungkapkan semua rasa yang ada pada hatinya, kegelisahan, kebingungan, kehambaran dan sejenisnya.
Sang kiyaipun banyak memberikan ia petuah dan nasihat agar mampu keluar dari keadaan yang selalu memenjarakan cintanya kepada Allah.
Tidak mudah memang, melupakan seorang gadis yang sudah kadung menjadi bidadari dalam hati seorang pria. Butuh perjuangan besar dan kesabaran mengecap pahit dan perihnya.

Hingga pada suatu waktu, Yusuf al-Rijly tamat SMA dan melanjutkan kuliyahnya di kampus umum karena mengikuti saran orang tuanya. Kampus itu berada di tengah-tengah ibu kota yang sudah barang tentu lingkuangan dan orang-orang sekelilingnya berbeda seratus delapan puluh derajat dengan lingkungan pesantren. Sebut saja kampus itu berada di kota metropolitan Jakarta.

Tak lama berada di kota ini, Yusuf al-Rijly nampaknya semakin terpengaruh dengan pergaulan yang buruk. Nampaknya teman sehari-harinya tidak terlalu baik bagi dirinya yang masih awam dengan gelamor kota. Awalnya memang ia masih bisa mempertahankan tradisi yang dijaga selama ini, sebut saja solat subuh berjamaah. Tapi sejak masa itu, tak jarang ia melaksanakan subuh di luar waktunya, jangankan berjamaah.
Kelam memang..

Hingga suatu pagi, ia terbangun tepat jam 06:00 WIB. Tentunya ia belum melaksanakan solat subuh. ia beristigfar lalu segera mengambil air wudhu dan mengqodho solatnya.
Setelah usai, ia membuka pintu kamar dan langsung ditampar sinar matahari yang sudah mulai mengganas. Mukanya tak bisa bersembunyi dari sinar itu, ia termenung sejenak sambil menikmati semilir angin yang bersorak kepadanya.

*******

Saat nur ilahi menghampirinya..
Inilah awal mula nur ilahi itu menghampirinya. Ia kembali masuk ke kamarnya mengambil buku catatan harian untuk menulis entah apa.? Lama sekali, hampir empat jam ia tak berbuat apapun. Tak berbicara apapaun. Intraksi dengan teman sekamarnya tiba-tiba saja vakum, tak ada tegur sapa meski saling berhadapan atau saling memandang. Sunyi, sunyi sekali. Tapi ternyata sunyi itu tak sampai pada jiwanya. Sebaliknya, masa itu jiwanya sedang berkecamuk memikirkan entah apa saja. Yang jelas ia mulai mencerca dirinya, mencerca perasaannya, menghina dirinya habis-habisan.

Berlanjut ke kamar mandi. Pada salah satu sisi dinding terdapat kaca cermin berukuran lumayan besar, sekitar lima puluh senti meter. Disinilah ia meratap, disinilah ia menatap, disinilah ia bercermin.
Awalnya tak jelas mukanya karena cermin itu sedikit berembun, tangan kanannya mengusap cermin itu dan nampak jelaslah ia menatap mukanya sendiri. inilah tahapan selanjutnya, inilah tahapan nur ilahi itu ia dapatkan. Peristiwa usapan ini bukan peristiwa biasa. Peristiwa ini yang selanjutnya sangat berperan dalam pertobatan remaja ini. Satu per satu kaidah-kaidah akhlak khussnya tentang hati kembali mengalir dalam benaknya, sudah lama padahal ia tak mengingatnya. Cermin adalah hatiku, dan embun ini adalah dosaku. Bagaimana aku melihat tuhanku bila hatiku setiap hari kututpi kelambu dosa dan maksiat. Jangankan melihat tuhanku, melihat diriku saja tak jelas rupanya. Di kamar mandi inilah, ia menangis tapi tanpa suara, air mata sudah tak tau bagaimna cara mengukurnya bahkan hatinya mungkin hingga berair darah-darah. Beralir-aliran sudah.
Inilah sepenggal kisah pertobatan itu, Yusuf al-Rijly betul-betul merasakan cahaya itu datang. Dan barangkali tidak semua orang meahami karena tak semua orang mengalami. Alami maka akan difahami.

*******

Masa-masa ia mencium kaki tuhan
Sejak masa itu, kehidupannya berubah kembali seratus delapan puluh derajat. Tak pernah alpa ia dalam setiap acara pesta tengah malam bersama Tuhannya. Tak pernah lagi salat berjama’ah ditinggalkannya. Kini ia begitu menguasai ilmu ihsan yang dulu ia tak mengerti. Tibalah masa-masa ia mencium kaki Tuhan. Tak akan ada yang mampu melakukan itu selama belum menguasai ilmu ihsan ini.
Setiap solat, ia tidak merasakan lagi Tuhan ada di atasnya, ia juga tak mampu menyadari kehadiran malaikat di sekitarnya. Hanya satu yang ia rasakan, hanya satu yang ia liaht,  Tuhan berada di depannya. Persis berada di depannya saling berhadapan dengannya.  Mata melihat alam, hati melihat tuhan. Lalu bagaimana ia berani kantuk di depan Tuhannya? Solatnyapun kini begitu mesra. Sujudnya tak seperti biasanya, ia kelihatan lebih mendekap seakan ada sesuatu yang ia dekap. Padahal tak ada, hanya ada sajadah atau hambal saja. Ternyata kaki Tuhanlah yang ia dekap, ia mampu merasakannya, hingga ia betah berlama-berlama mencium kaki Tuhannnya. Mesra sekali, tak ada sombong dan sifat nafsu lainnya. Ia begitu merendah, sujud mencium kaki tuhannya.
Hanya satu pintanya “Tuhan Rawat Cinta ini Hanya untuk-Mu”.



Abdul Faqiir,
Multazam Zakaria
Cp: 081918253603
Fb: Multazam Zakaria
Twitter: @azamzakariyya
Email: Azamibnuzakariyya@gmail.com

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar