Pencium Kaki Tuhan,
Sepenggal Kisah Perjalanan Spritual
Oleh: Multazam Zakaria
“Kucium kaki Tuhanku berlama-lama, kunikmati harumnya. Hingga tak
kurasa sajadahku basah berlumur darah. Darah yang tidak merah, bukan darah
marah, hanya darah yang tak akan pernah tercatat sejarah. Karana darah ini
darah cumbuku”
********
Saat ia menyantri dan menemukan titik Tanya?
Sebut
saja namanya Yusuf al-Rijly, remaja berwajah gelap berpostur tubuh tidak tinggi.
Ia mulai nyantri sejak kelas satu sekolah menengah pertama hingga tamat sekolah
menengah atas. Sejak itulah ia mulai banyak mengenal ilmu agama yang setiap
hari diberikan para guru. Dari sekian banyak banyak cabang ilmu agama yang
dipelajari, ia paling tertarik dengan ilmu akhlak atau yang sering diidentikkan
dengan ilmu tasawwuf. Tak ada pelajaran khusus yang membahas ilmu tasawwuf
sebenarnya yang ia dapatkan. Tapi sedikit tidak hobinya yang sering berpacaran
dengan berbagai macam buku banyak mengenalkannya dengan ilmu tasawwuf. “Yang
paling berat timbangannya adalah akhlak, yang paling dekat duduk dengan
Rasulullah saw kelak di surga adalah ummatnya yang paling baik akhlaknya,
Sesungguhnya nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Kurang lebih inilah
landasan utama mengapa Yusuf al-Rijly sangat menggemari pelajaran ini.
Malam
beranjak pergi, mataharipun masih setia menjalankan titah Rajanya. Riah-riuh
suara hafalan santri setiap pagi memiliki kesan tersendiri. Hari-hari di
pesantren ia jalani dengan penuh suka cita meski kadang sering berduka cita
dengan dirinya sendiri. ia dikenal sebagai santri yang santun lagi hormat pada
gurunya, terutama pada bapak kiyai pengasuh pesantren. Ia banyak belajar ilmu
hikmah dari kiyainya, wajarlah bila ia sangat menghormati sang kiyai. Disamping
sang kiyai sendiri dikenal masyarakat sebagai peribadi berbudipekerti yang
luhur, peduli dan bijaksana. Hampir tak pernah ada santri yang melihatnya
marah, apalagi sampai memukul. Ia lebih sering mengajar dengan contoh sehingga
sang kiyai sangat disegani oleh semua kalangan, santri, keluarga, dan
masyarakat.
Sehingga tidak
mengherankan Yusuf al-Rijly sebagai salah satu santri sang kiyai bercita-cita
kelak ingin menjadi sosok seperti sang kiyainya.
***********
Saat
ia mulai lebih akrab dengan dosa karena salah kafrah, saat gelap.
Rupanya
iblis tidak pernah puas hingga seorang hamba betul-betul mengikutinya. Tak
terkecuali Yusuf al-Rijly. Usianya yang kini semakin meremaja (17 Tahun) tentu merupakan
sebuah tantangan tersendiri yang harus dilalui. Sama seperti remaja-remaj
lainnya, usia ini adalah usia yang paling rentan terjangkiti virus cinta lawan
jenis. Ia mulai merasa tertarik dengan seorang gadis seusianya. Berawal masa
itu, ia mulai mengenal lebih dalam dunia percintaan. Percintaan dengan lawan
jenis yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Cinta yang selama ini ia rawat
untuk Allah kini telah terbagi kepada seorang gadis. Berawal masa inilah ia
sering risau dengan rasa yang dialaminya sendiri. ia takut bila-bila nanti
cintanya kepada gadis itu mengalahkan cintanya pada Allah. Kerisauan itupun
terjadi, entah berapa ribu cara iblis menggodanya hingga masa itu ia hanya
bagai seorang penyembah perempuan. Ia mulai jarang mendatangi Allah di pertiga
malam. Bacaan-bacaan al-qurannya pun kini tak terlalu indah didengdangkannya,
keindahan itu telah terampas dan berkumpul pada keindahan gadis yang
dicintainya itu.
Ia
menyadari betul keterpurukannya itu, kegersangan hati yang dialaminya saat itu
sungguh menyiksanya. Ia mulai lebih senang menyendiri meratapi cintanya yang
kini terampas gadis. Meratapi kasih yang dulu senantiasa terawat suci. Tapi
rasa itu masih saja ia pendam sendiri, hingga suatu waktu ia pun
mengungkapkannya. Tapi ia tak mengungkapkkanya pada gadis itu, ia mencintainya
dalam diam. Kepada sang kiyailah Yusuf al-Rijly mengungkapkan semua rasa yang
ada pada hatinya, kegelisahan, kebingungan, kehambaran dan sejenisnya.
Sang
kiyaipun banyak memberikan ia petuah dan nasihat agar mampu keluar dari keadaan
yang selalu memenjarakan cintanya kepada Allah.
Tidak
mudah memang, melupakan seorang gadis yang sudah kadung menjadi bidadari dalam
hati seorang pria. Butuh perjuangan besar dan kesabaran mengecap pahit dan
perihnya.
Hingga
pada suatu waktu, Yusuf al-Rijly tamat SMA dan melanjutkan kuliyahnya di kampus
umum karena mengikuti saran orang tuanya. Kampus itu berada di tengah-tengah
ibu kota yang sudah barang tentu lingkuangan dan orang-orang sekelilingnya
berbeda seratus delapan puluh derajat dengan lingkungan pesantren. Sebut saja
kampus itu berada di kota metropolitan Jakarta.
Tak
lama berada di kota ini, Yusuf al-Rijly nampaknya semakin terpengaruh dengan
pergaulan yang buruk. Nampaknya teman sehari-harinya tidak terlalu baik bagi
dirinya yang masih awam dengan gelamor kota. Awalnya memang ia masih bisa
mempertahankan tradisi yang dijaga selama ini, sebut saja solat subuh
berjamaah. Tapi sejak masa itu, tak jarang ia melaksanakan subuh di luar
waktunya, jangankan berjamaah.
Kelam memang..
Hingga
suatu pagi, ia terbangun tepat jam 06:00 WIB. Tentunya ia belum melaksanakan solat
subuh. ia beristigfar lalu segera mengambil air wudhu dan mengqodho solatnya.
Setelah
usai, ia membuka pintu kamar dan langsung ditampar sinar matahari yang sudah
mulai mengganas. Mukanya tak bisa bersembunyi dari sinar itu, ia termenung
sejenak sambil menikmati semilir angin yang bersorak kepadanya.
*******
Saat
nur ilahi menghampirinya..
Inilah
awal mula nur ilahi itu menghampirinya. Ia kembali masuk ke kamarnya mengambil
buku catatan harian untuk menulis entah apa.? Lama sekali, hampir empat jam ia
tak berbuat apapun. Tak berbicara apapaun. Intraksi dengan teman sekamarnya
tiba-tiba saja vakum, tak ada tegur sapa meski saling berhadapan atau saling
memandang. Sunyi, sunyi sekali. Tapi ternyata sunyi itu tak sampai pada jiwanya.
Sebaliknya, masa itu jiwanya sedang berkecamuk memikirkan entah apa saja. Yang
jelas ia mulai mencerca dirinya, mencerca perasaannya, menghina dirinya
habis-habisan.
Berlanjut
ke kamar mandi. Pada salah satu sisi dinding terdapat kaca cermin berukuran
lumayan besar, sekitar lima puluh senti meter. Disinilah ia meratap, disinilah
ia menatap, disinilah ia bercermin.
Awalnya
tak jelas mukanya karena cermin itu sedikit berembun, tangan kanannya mengusap
cermin itu dan nampak jelaslah ia menatap mukanya sendiri. inilah tahapan
selanjutnya, inilah tahapan nur ilahi itu ia dapatkan. Peristiwa usapan ini
bukan peristiwa biasa. Peristiwa ini yang selanjutnya sangat berperan dalam
pertobatan remaja ini. Satu per satu kaidah-kaidah akhlak khussnya tentang hati
kembali mengalir dalam benaknya, sudah lama padahal ia tak mengingatnya. Cermin
adalah hatiku, dan embun ini adalah dosaku. Bagaimana aku melihat tuhanku bila
hatiku setiap hari kututpi kelambu dosa dan maksiat. Jangankan melihat tuhanku,
melihat diriku saja tak jelas rupanya. Di kamar mandi inilah, ia menangis tapi
tanpa suara, air mata sudah tak tau bagaimna cara mengukurnya bahkan hatinya
mungkin hingga berair darah-darah. Beralir-aliran sudah.
Inilah
sepenggal kisah pertobatan itu, Yusuf al-Rijly betul-betul merasakan cahaya itu
datang. Dan barangkali tidak semua orang meahami karena tak semua orang
mengalami. Alami maka akan difahami.
*******
Masa-masa
ia mencium kaki tuhan
Sejak
masa itu, kehidupannya berubah kembali seratus delapan puluh derajat. Tak
pernah alpa ia dalam setiap acara pesta tengah malam bersama Tuhannya. Tak
pernah lagi salat berjama’ah ditinggalkannya. Kini ia begitu menguasai ilmu
ihsan yang dulu ia tak mengerti. Tibalah masa-masa ia mencium kaki Tuhan. Tak
akan ada yang mampu melakukan itu selama belum menguasai ilmu ihsan ini.
Setiap
solat, ia tidak merasakan lagi Tuhan ada di atasnya, ia juga tak mampu
menyadari kehadiran malaikat di sekitarnya. Hanya satu yang ia rasakan, hanya
satu yang ia liaht, Tuhan berada di
depannya. Persis berada di depannya saling berhadapan dengannya. Mata melihat alam, hati melihat tuhan. Lalu
bagaimana ia berani kantuk di depan Tuhannya? Solatnyapun kini begitu mesra.
Sujudnya tak seperti biasanya, ia kelihatan lebih mendekap seakan ada sesuatu
yang ia dekap. Padahal tak ada, hanya ada sajadah atau hambal saja. Ternyata
kaki Tuhanlah yang ia dekap, ia mampu merasakannya, hingga ia betah
berlama-berlama mencium kaki Tuhannnya. Mesra sekali, tak ada sombong dan sifat
nafsu lainnya. Ia begitu merendah, sujud mencium kaki tuhannya.
Hanya satu
pintanya “Tuhan Rawat Cinta ini Hanya untuk-Mu”.
Abdul Faqiir,
Multazam Zakaria
Cp: 081918253603
Fb: Multazam Zakaria
Twitter: @azamzakariyya
Email: Azamibnuzakariyya@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar