“Yang
disebut cinta adalah rasa yang didapat dari pengembaraan menuju-Nya. Selain
daripada itu, bisa dipastikan hanyalah jelmaan syahwah nafsiyyah dan ego
semata.” (Multazam Zakaria, Executive DirectorMadani Traning Centre)
#####
![]() |
Multazam Zakaria |
Seiring masa
terus mencabik usia kita tanpa henti, tanpa henti, sedikitpun, kita nampaknya
makin terlihat dewasa dan mulai merambah ke dalam dunia rasa. Kita tampil
nampak lebih elegan dan lebih faham akan rasa-rasa yang barangkali sering
menghiasi detik detik nafas kita. Meski saya yakin di balik tampilan elegan dan
kefahaman itu ada banyak hal yang sebetulnya kita tidak mengerti, hakikatnya.
Saya bisa katakan hal semacam ini sebagai sebuah bentuk ‘ketertipuan’. Tertipu?
Maksudnya? Yah, bicara rasa maka taka ada rasa yang paling diindah untuk
dikecap selain rasa cinta. Siapa yang tidak tahu dengan rasa ini? Rasa ini
adalah rahasia dari pengorbanan-pengorbanan besar, rasa ini adalah rahasia dari
semangat kontirbusi yang tak mengenal kata jeda, rasa ini yang menajdi rahasia
dibalik kuatnya pundak memikul amanah dan kaki terus melangkah. Inilah
rahasianya, rasa ini. Bila memang rasa ini adalah rahasia dari hal-hal besar
itu, pernahkah kita sedikit menggelitik diri untuk bermaksud lebih memahami
indikasi atau sekedar hakikat dan sumbernya.? Ya, kita sering mangalami ketertipuan dengan rasa ini. Barangkali karena kita terlalu menikmatinya sehingga remehkan sumber dan dampaknya. Bila itu terjadi, maka tertipulah dan bersiaplah kecap derita luka yang mungkin entah kapan berhenti menganga.
Rentan memang,
indikasi dari cinta dan syhawah begitu persis bahkan cenderung sama dan kita
sering kali tidak mampu mengenalinya. Lihatlah, bila Syeikh nawawi menjadikan ‘rindu’
sebagai salah satu dari indikasi cinta, pun nafsu memiliki indikasi semcam itu ‘rindu’.
lalu bila ‘banyak mengingat’ dijadikan pula sebagai indikasi dari cinta, pun ‘banyak
mengingat’ juga merupakan indikasi dari syahwah. Syahwah memang terasa mudah
mengenalinya bila menemukannya dalam perkara maksiat, namun ia akan samar dan
cenderung tidak terlihat bila dibalut oleh taat. Bila nikah adalah sebuah
ibadah yang merupakan ketaatan, adakah yang mampu menjamin semua yang menikah
berdasarkan cinta ataukah syahwah? Bukankah indikasi dari cinta dan syahwah
cenderung sama, lalu mampukah kita mengenal syqhwah bila dalam keadaan seperti
ini, syahwat dalam taat, tepatya seperti itu. Syahwah semacam ini yang
barangkalai disebut imam ibnu ‘athaillah sebagai syahwah khafiyah (syahwat
tersembunyi), maksudnya adalah kita sulit untuk mengenalinya karena dibalut
oleh ketaatan tadi.
Cinta,
remaja, dua kata ini cukup menarik bagi saya. Remaja adalah masa dimana seseorang mulai mencari jati dirinya,
dan merupakan masa yang paling rentan dengan kesukaan terhadap lawan jenis. Sengaja
saya gunakan kata ‘kusukaan’ bukan ‘kecintaan’ karena saya tidak berani
menjamin apa yang dirasakan mereka adalah cinta, saya khawatir dan sangat
khawatir itu adalah jelmaan syahwah saja. Banyak faktor yang menyebabkan
seseorang suka kepada lawan jenisnya, apapun faktor itu tapi jauh lebih penting
apa yang akan kita bicarakan saat ini, benarakah rasa suka itu adalah cinta? Yakinkah
kita bahwa itu bukan syahwah yang dipoles iblis dan kita menikmatinya? Saya kira
ini adalah pertanyaan mendasar yang masing-masing kita harus menjawabnya. Jika ia,
maka hal muthlak yang harus kita lakukan adalah memahami apa itu cinta? Dan darimana
mendapatkannya? Ya, ini yang akan kita coba bicarakan disini.
Cinta tidak
mampu didefinisikan yang lebih jelas daripada cinta itu sendiri, definisi hanya
akan menambah kesamaran . definisi itu dimaksudkan untuk ilmu, sedangkan cinta
adalah sebuah rasa yang dihimpunkan kepada hati para pencinta. Hanya rasa yang
mampu membuka rahasianya. Apapun yang dikatakan terhadap cinta tidak lain hanya
menerangkan kesan cinta, mengibaratkan dampak serta memperjelas sebab-sebabnya,
tapi bukan definisi dari cinta itu sendiri. tapi bila boleh mendefinisikan
cinta hakiki, maka saya akan menulis “Yang disebut cinta adalah rasa yang
didapat dari pengembaraan menuju-Nya. Selain daripada itu, bisa dipastikan
hanyalah jelmaan syahwah nafsiyyah dan ego semata.”
Izinkan juga
saya mengutip beberapa perkataan ulama tentang cinta yang saya sadur dari kitab
mukasyafatul qulub buah pena Imam Al-Gazali. Ibnu addhibag rahimahullah
berkata :” Siapa saja yang merasakan cinta niscaya ia akan dikuasai oleh
keadaan yang tak tentu arah, yaitu suatu perkara yang tidak mungkin mampu
diibaratkan. Sebagaimana orang yang pernah mabuk, apabila ditanya tentang
hakikat mabuk yang dialaminya ia tak mungkin mengibaratkan keadaan tersebut
karena keadaan itu telah mengalahkan akalnya. Begitu pula dengan seseorang yang
sedang mabuk cinta. Seorang ulama yang bernama syeikh junaid pernah ditanya
tentang cinta, lalu menundukkan kepala bersama cucuran air mata lalu berkata :
adalah cinta ketika seseorang meninggalkan nafsunya, banyak mengingat-NYA,
berdiri melaksanakan kewajiban
kepada-Nya, dan melihat dengan hati sanubari kepada-Nya. Hati terbakar dengan
cahaya keagungan ilahi dan minumannya jernih datang dari gelas cinta. Jika berkata-kata dia berkata-kata dengan
Allah, jika berbicara berbicara dari Allah, jika bergerak geraknya dengan
perintah Allah, jika diam maka bersama Allah. Dia billah, lillah, dan ma’allah.
Dikisahkan
seorang pemuda yang yang lalai dari bersolawat kepada Nabi saw, suatu malam ia
bermimpi bertemu dengan Nabi saw. Lalu ia menanyai rasul saw “Ya Rasulullah,
apakah engkau marah kepadaku?” Rasul menjawab “tidak”. “Apakah kau tidak
melihat siapa aku?” Rasulpun menjawab “aku tidak mengenalmu”. “bagaimana engkau
tidak mengenaliku, padahal aku adalah laki-laki dari ummatmu, dan para ulama
meriwayatkan bahwa engkau mengenali ummatmu sebagaimana ibu mengenali anaknya”
Rasulpun menjawab “mereka benar, akan tetapi engkau jarang mengingatku dengan
bersholawat, sedangkan aku mengenali ummat tergantung kadar sholawat mereka
kepadaku”.
Jika engkau mencintai Allah maka
ikutilah aku.. (QS. Ali Imran : 31)
Imam
al-Gozali dalam Ihya’nya mengatakan
“Siapa yang mengaku atas empat perkara tanpa empat perkara maka ia adalah
pembohong. Siapa saja yang mengaku cinta surga tapi tidak melakukan ketaatan
maka ia adalah pembohong. Dan siapa saja yang mengaku mencintai nabi saw tapi
tidak mencintai para ‘ulama dan orang fakir maka ia adalah pembohong. Dan siapa
yang mengaku takut dengan neraka tapi ia tidak meninggalkan maksiat maka ia
adalah pembohong. Dan siapa saja yang mengaku mencintai Allah tapi selalu
mengeluh dengan ujian yang diberikan-Nya maka ia adalah pembohong.”
Sayyidah
Robi’ah Al-Adawiyyah berkata, “Engkau maksiati Allah sementara telah engkau
ungkapkan cinta kepada-Nya, sungguh sayang ungkapanmu hanyalah rayuan belaka
kepada-Nya, karena jika memang cintamu benar adanya maka engkau akan tunduk
pada-Nya, karena pencinta tunduk pada yang dicinta.”
Dan
tanda cinta itu adalah mencintai apa yang dicintai oleh yang dicintai dan
menjauhi apa yang tidak disukainya.
Dikisahkan
jama’ah mendatangi kediaman Syeikh Assyibli, lalu beliau bertanya “Siapakah
kalian?” merekapun menjawab “kami adalah orang-orang yang mencintaimu”. Lalu
beliaupun mengusir mereka. “mengapa engkau usir kami wahai syeikh?” beliapun
menjawab “kalian mengaku mencintaiku, tapi mengapa kalian menghindar dari
ujianku?”
Ali
karromallahu wajhah berkata “siapa
yang merindukan surga maka ia akan bersegera melakukan kebaikan, dan siapa yang
takut kepada neraka maka ia akan menahan nafsunya.
Ibrohim
Al-Khawwas pernah ditanya tentang cinta, lalu menjawab “terkumpulnya segala
keinginan, terbakarnya segala sifat dan hajat, dan tenggelamnya diri pada laut
pembuktian”
Hulu
dan Hilir Cinta
Melihat
beberapa gambaran dan pendapat tentang cinta diatas, masih sulit memang
membedakan antara mahabbah (cinta) dengan syhawah nafsiyyah (nafsu syahwat). Namun
begini saja, bila antara cinta dan syhawat memiliki indikasi yang sama saat
rasa itu dikecap, maka hal paling aman adalah melihat hulu dan hilir dari rasa
itu. Hanya hulu dan hilir tanpa melibat masa-masa dimana rasa itu dikecap,
hanya ada dua pilihan ini menurut saya.
Hulu,
merupakan latar belakang dari cinta, ini bisa terdiri dari pemahman dan
keyakinan atau aspek spritualitas sebelum rasa itu dikecap. Jika cinta adalah
keindahan, maka cinta adalah perangai, cinta adalah akhlak. Dan hulu dari cinta
harusnya adalah akhlak, dan sumber akhlak harusnya ke-tauhid-an. Dalam islam,
ada jenjangan-jenjangannya. Sedikit tidak rapi bila bersemangat mempelajari
akhlak tapi tanpa pondasi tauhid yang kokoh. Hal semacam ini yang akan
menjadikan seseorang meremeh dan mendefiniskan cinta semaunya. Dari lietaratur
manapun, tauhid adalah ilmu pertama yang harus difahami dan dipelajari oleh
seorang muslim. Ilmu tauhid adalah pembuka hubungan antara hamba dengan Tuhannya,
ilmu tauhid yang akan mengenalkan hamba dengan Tuhannya, barulah ilmu akhlak
yang akan membentuk cinta seorang hamba pada Tuhannya. Mohon maaf, bila hanya mempelajari
akhlak tanpa ilmu tauhid itu berarti kita belajar mencintai Allah tanpa
mengenalnya. Kita akan semakin mudah mengungkap cinta pada-Nya, dan semakin
mudah pula mengatasnamakn cinta atas-Nya, cinta karena-Nya, yakinkah itu cinta?
Adakah itu cinta sedang kita tidak mengenal-Nya.?
Hilir,
bila memang benar itu cinta maka hilirnya akan beerbahagia. Nah, inilah dia. Kebanyakan
remaja yang sudah lama mengecap rasa (disebut cinta) dengan seorang lawan
jenisnya namun tiba-tiba putus, terhenti, yang ada hanya derita dan luka. Lalu yang
mereka salahkan adalah cinta, rame-rame update status fb dan menyalah-nyalahkan
cinta. Bila memang hilir dari dari rasa yang dianggap cinta adalah derita dan
luka, maka itu merupakan indikasi kuat bahwa rasa yang dikecap selama ini
adalah jelmaan dari syhwah nafsiyyah belaka. Sadarilah !
Salam
Cinta,
*Semoga
Bermanfaat !
0 komentar:
Posting Komentar