Meracik Makna

“Apapun alasan yang ada, saya memang senang menulis dan saya akan memenuhi keinginan saya untuk tetap menulis. Jika apa yang saya tulis adalah sesuatu yang benar maka alhamdulillah, tetapi jiika tidak maka astagfirullah. (Hasan alBanna)

Jumat, 08 Februari 2013

Untuk Kesekian Kali Aku Menipu Tuhan

******          
“Maka yang terpenting adalah bukan membalik hati kita, tapi bagaimana tetap bertahan dalam balikan kebaikan, itulah prestasi.”
                    ******                               
 “Ya Allaaaaaaah…, Maafkan aku yang sudah ingkar janji kepada-Mu, maafkan aku yang sudah kesekian kali mengkhianati sumpah suciku kepada-Mu, maafkan aku yang sudah ke-sekan-kali menipu-Mu ya Allaaaaah. Kuserahkan semuanya hanya kepada-Mu.” Isak Yusuf al-Rijly.
_____________________________________________________________________________
Berbolak-balik adalah sifat muthlak dari suatu organ yang biasa kita sebut hati.  Hati, ya hatilah yang selama ini kita sebut sebagai sumber atas setiap gerak dan rasa, pun ternyata berbolak-balik. Bahasa sekarangnya barangkali kita menyebutnya dinamis, bergerak dan berubah-ubah, kadang baik kadang juga buruk, kadang sedih, kadang juga bahagia. Maka yang terpenting adalah bukan membalik hati kita, tapi bagaimana tetap bertahan dalam balikan kebaikan, itulah prestasi. Itulah sebabnya mengapa Rasul saw mengajarkan kita do’a “Allahumma Ya Muqollibal Qulub, Tsabbit Qolbii ‘Ala Dinik”, Ya Allah yang Maha Membolak-balikkan hati, kokohkanlah hati kami atas agama-Mu.

Sebentar lagi kita akan menyimak aduan dan ungkapan rasa yang dilakukan oleh Yusuf al-Rijly[2], rasa dan kegelisahannya karena sudah beberapa kali menipu Tuhannya. Semua rasa ini ia tumpahkan karena tamparan kesadarannya yang kembali hadir setelah beberapa waktu redup, sirna, bahkan. Iapun terus mengadu dalam sepi dan sunyi, tak lagi dia hiraukan sekelilingnya, mengadu dan mengadu.
Ya Allah,
Beberapa kali kurasakan kekerdilanku di tengah ke maha-besaran-Mu. Tatkala di kehingan malam aku bersujud mensyukuri dan menghitung-hitung nikmat yang Engkau anugerahkan padaku sepanjang hari tadi: kesulitan yang engkau mudahkan; nama yang engkau tinggikan; aib yang engkau tutupkan; jantung yang kau detakkan; darah yang kau alirkan; ingatan yang kau tajamkan; rezeki, keluarga, dan sahabat yang kau karuniakan; berbagai peluang dan kesempatan yang Engkau bukakan; keberanian yang engkau limpahkan; dan nikmat iman yang engkau berikan padaku. Begitu banyak yang harus saya syukuri, sepanjang malam pun aku bersujud tak kuasa aku untuk mengurai semuanya.
Ya Allah,
Beberapa kali kurasakan betapa hinanya aku di hadapan ke-maha-mulian-Mu.
Ketika di keheningan malam dengan kerendahan hati aku tulus bertobat dan menghitung-hitung kesalahan yang aku lakukan sepanjang hari tadi. Sholat yang belum sepenuhnya khusu’; tadarusan yang belum tartil; sedekah yang belum seberapa; amalan yang masih terbatas; penghormatan pada tamu yang belum memadai; ibadah yang masih sering disertai riya; didikan pada keluarga dan turunanku yang belum sempurna; pengabdian pada bangsa yang belum sepenuh hati; begitu banyak yang harus aku mohonkan ampun kepada-Mu, seluruh malampun aku menengadah tak cukup untuk aku menyatakan semuanya.
Ya Allah,
Di malam-malam hening saya mohon agar; di dalam sujud syukurku engkau sudi menambahkan getaran kasih sayang-Mu padaku. Di dalam panjatan doa permohonan amapunanku pada-Mu, sengkau sudi membuka pintu maaf-Mu bagiku.
Ya Allah,
Jangan lewatkan satu malam pun dari malam-malam suciku tanpa kau bombing aku bersimpuh di atas sajadah mensyukuri nikmat-Mu, mengharpkan ampunan-Mu, dan memohon bimbingan-Mu.
Ya Allah,
Tautkan sukmaku dengan cinta-Mu. Hanya dengan itu ya Allah saya berharap tidak satu langkahpun yang kuambil di luar bimbingan cahaya-Mu.”[3]
Suara Yusuf al-Rijly terhenti, wajahnya sudah basah oleh air mata penyesalan dan penghinaan diri di hadapan Tuhannya. Matanya berkaca-kaca dengan wajah penuh guratan kesedihan, nampaknya ia sedang mengingat kembali masa-masa romantic yang pernah ia jalani dengan Tuhannya. Ia mengingat kembali janji-janji suci yang dulu pernah ia ikrarkan, ia pun kembali mengingat sumpahnya pada Tuhannya yang dulu pernah ia tanam dalam-dalam dalam hatinya, entah apa yang dirasakan, yusuf kembali merengek dengan suara lebih tinggi dari sebelumnya.
“Ya Allaaaaaaah…,
Maafkan aku yang sudah ingkar janji kepada-Mu, maafkan aku yang sudah kesekian kali mengkhianati sumpah suciku kepada-Mu, maafkan aku yang sudah ke-sekan-kali menipu-Mu ya Allaaaaah. Kuserahkan semuanya hanya kepada-Mu.” Isak Yusuf al-Rijly.
Malam itu penuh isakan tangis yusuf, tangis penyesalan, tangis kesadaran, tangis taubat, tangis cinta, tangis sang pencari Tuhan. Menangis, menangis karena Takut akan Allah swt, menagis karena mengingat dosa dan maksiat yang ia lakukan, menangis karena janji dan sumpah kepada Allah yang ia ingkari, menangislah, menagislah Yusuf al-Rijly.
Ya, berbahagialah mereka yang mampu menangis di hadapan Allah swt, berbahagialah mereka yang mampu mengungkapkan cinta mereka dengan air mata di hadapan Allah swt. Hingga dalam sebuah riwayat disebutkan, mata yang menangis karena takut atas Allah swt tidak akan di sentuh oleh api Neraka.
Wallahua’lam!




[1] Penulis cerpen spiritual ‘Pencium Kaki Tuhan’
[2] Baca ‘Pencium Kaki Tuhan’ untuk mengetahui kisah romantis yang pernah terjadi antara Yusuf al-Rijly dengan Tuhannya
[3] Bunda Marwah, Perenungan di Penghujung Ramadhan 1423 H/ Rabu, 4 Desember 2002
Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar