DIMANA
AKU KINI?
(Perenungan
diri, yang telah jauh tersesat. Multazam Zakaria)
Wahai tuhan
Jauh sudah
Lelah kaki
melangkah
Aku hilang tanpa
arah
Rindu hati
Sinarmu
Wahai tuhan
Aku lemah
Hina berlumur noda
Hapuskanlah
Terangilah
Jiwa di hitam
jalanku
Ampunilah aku
Terimalah taubatku
Sesungguhnya Engkau
Sang Maha Pengampun Dosa
Ya Rabbi
Izinkanlah
Aku kembali
kepadamu
Meski mungkin
Tak kan sempurna
Aku sebagai hambamu
Ampunkanlah aku
terimalah taubatku
Berikanlah aku
Kesempatan waktu
Aku ingin kembali
Kembali
Dan meski tak layak
sujud padamu
Dan sungguh tak
layak aku
(Ofick)
(Ofick)
“Ya Tuhanku, aku
bukan ahli surga-Mu, tapi aku juga tidak kuat atas siksa neraka-Mu. Maka
terimalah taubatku dan akmpunilah aku Ya Dzal Jalal, karena sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Pengampun dosa-dosa besar. Ya Tuhanku, hamba (pemaksiat)-Mu
telah datang kepada-Mu, mengakui segala dosa dan bermunajat kepada-Mu. Dosa-dosaku
bagaikan pepasir di pantai, maka terimalah taubatku Ya Dzal Jalal. Setiap hari
umurku berkurang, namun setiap hari juga dosaku bertambah. Bagaimana aku harus
bertindak? Jika Engkau ampuni, Engkau Dzat Yang Maha Pengampun, bila Kau tolak,
siapa lagi tempat ku berharap dan memohon?.” (Syair Abu Nawas yang dulu sering
kuresapi, mengahangatkan, menyejukkan, semoga dapat menyuburkan kembali ladang
hati yang terlanjur kering ini)
Kutemukan diriku
telah terdampar di persimpangan kehidupan, aku harus menentukan jalan mana yang
harus kutempuh. Aku tidak ingin tersesat, tapi nafsuku tetap saja melumat. Aku
terdampar dalam sadar, menikmati gelisah dan jiwa yang semakin kering. Aku
terdampar kini, setelah beberapa kali terjatuh, terlempar, lalu berjalan
kembali, meski tertatih. Fikiranku menerawang jauh ke belakang. Menerawang
sekitar Sembilan ratus Sembilan puluh Sembilan hari yang telah berlalu. Meski
sulit, aku tetap berusaha menemukan diriku, diriku yang dulu. meski sering
tersesat, sesekali kufikirkan bagaimana dulu kuukir taat.
Entah ini keberapa
kali penyesalan itu muncul, entah. Kesadaran atas tindakan bejat menipu tuhan
yang keberapa kalikah, aku tidak ingat persis. Aku juga tidak tahu pasti siapa
dan apa yang membawaku ke sini, ke lembah hina. Fikiranku terus menerawang,
sesekali jubah putih dan hijau lekat sekali dalam memoriku. Peci putih dan
hitam, surban abi dan abang yang sering menghiasi leher dan badanku, sesekali
kujadikan penghangat saat dingin menggigit. Fikiranku yang tak henti menerawang
masa lalu itu, sepertinya penuh, penuh.
Kitab ta’lim yang
dulu sering tangan ini memegangnya, sering mulut ini menyenandungkannya, kini
aku tidak tahu entah dimana. Seakan jiwa tersesat, tak ada bekal untuk
mengganjal iman yang kian hari kian lapar, tak ada air untuk menutupi haus jiwa
yang kian hari kian kering. Tak ada lagi surban sebagai penghangat dan penutup
aib diri sendiri. semua bagai sirna, tak ada lagi yang tersisa.
Aku tidak tahu
harus menjawab apa dan bagaimana, bila-bila seandainya jatah umurku telah habis
dan terhenti disini. Lalu aku ditanya oleh utusan-Nya, dalam himpitan tanah dan
buaian gelap, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu? bagaimana
solatmu? Bagaimana qiyammu? Bagaimana shaummu? Bagaimana tilawahmu? Bagaimana
manfaat yang kau tebar? Bagaiaman matamu? Bagaimana hartamu? Bagaimana
makananmu? Bagaimana pakaianmu? Bagaimana auratmu? Bagaimana ibumu? bagaimana
ayahmu? Bagaimana lidahmu? Bagaimana orang disampingmu? Ah, aku tidak bisa
membayangkan lagi, bagaimana harus kujawab semua pertanyaan itu.
Meski sudah terlalu
jauh aku tersesat, tetap kubatinkan untuk terus kembali, kembali, meski tertatih,
terjatuh, terhina, terlempar, dan meski harus merangkak. Solatku? Aku harus menjawab apa? Aku tahu
betul, ini adalah pertemuanku dengan tuhanku, tapi haruskah kukatakan bahwa
kulakukan itu karena terpaksa? Haruskah kukatakan kulakukan itu karena ingin
dibangga? Ingin dilihat? Ingin didengar? Beradabkah bila jawaban itu yang harus
kucapkan. Hah, aku tidak siap. Tidak siap, sama sekali.
Masih dalam fikiran
yang menerawang jauh ke belakang. Sesekali kuingat saat terjatuh, saat
terdampar, saat itu pula tangan-tangan suci dan tulus mengangkatku, membantuku,
mengobati laraku. Meski harus terjadi berulang-ulang. Kini, adakah tangan itu? saat terjatuh, adakah
yang siap membantuku untuk berdiri kembali? Saat terdampar dan tersesat, adakah
yang siap menuntunku dan membimbingku kembali? Saat lara kian menganga, adakah
yang siap mengobatiku? Aku ingin sekali, ada orang-orang seperti dulu di
sampingku.
Aku ingat teori
itu, bahkan sempat kuajarkan kembali kepada adik-adik kelasku. Dan bahkan itu
yang menajdi senandung populer yang sering ku dengungkan. “dek, jika kamu
memancing, maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Bila tenagamu lebih
besar dari ikan yang memakan umpanmu, maka engkau akan mendapatkan ikan itu. namun
bila sebaliknya, tenaga ikan itu lebih besar dari tenagamu, maka kamu yang akan
ditarik oleh ikan itu, kamu akan tenggelam, basah, jika tidak mati, maka
mungkin engkau akan pingsan, itupun jika ada yang menyelamatkanmu, atau jika
ada keajaiban yang menghampirimu. Renungkan itu dek!” kurang lebih, seperti
itu nasihatku beberap ratus hari yang lalu. Dan ingin ingin kukatakan nasihat
itu lagi kepada diriku sendiri, kini.
Ya Allah, bimbing
aku. Terimalah taubatku, ampuni dosaku.
0 komentar:
Posting Komentar