Meracik Makna

“Apapun alasan yang ada, saya memang senang menulis dan saya akan memenuhi keinginan saya untuk tetap menulis. Jika apa yang saya tulis adalah sesuatu yang benar maka alhamdulillah, tetapi jiika tidak maka astagfirullah. (Hasan alBanna)

Rabu, 24 April 2013


DIMANA AKU KINI?
(Perenungan diri, yang telah jauh tersesat. Multazam Zakaria)
Wahai tuhan
Jauh sudah
Lelah kaki melangkah
Aku hilang tanpa arah
Rindu hati
Sinarmu
Wahai tuhan
Aku lemah
Hina berlumur noda
Hapuskanlah
Terangilah
Jiwa di hitam jalanku
Ampunilah aku
Terimalah taubatku
Sesungguhnya Engkau Sang Maha Pengampun Dosa
Ya Rabbi
Izinkanlah
Aku kembali kepadamu
Meski mungkin
Tak kan sempurna
Aku sebagai hambamu
Ampunkanlah aku
terimalah taubatku
Berikanlah aku
Kesempatan waktu
Aku ingin kembali
Kembali
Dan meski tak layak sujud padamu
Dan sungguh tak layak aku
(Ofick)


“Ya Tuhanku, aku bukan ahli surga-Mu, tapi aku juga tidak kuat atas siksa neraka-Mu. Maka terimalah taubatku dan akmpunilah aku Ya Dzal Jalal, karena sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pengampun dosa-dosa besar. Ya Tuhanku, hamba (pemaksiat)-Mu telah datang kepada-Mu, mengakui segala dosa dan bermunajat kepada-Mu. Dosa-dosaku bagaikan pepasir di pantai, maka terimalah taubatku Ya Dzal Jalal. Setiap hari umurku berkurang, namun setiap hari juga dosaku bertambah. Bagaimana aku harus bertindak? Jika Engkau ampuni, Engkau Dzat Yang Maha Pengampun, bila Kau tolak, siapa lagi tempat ku berharap dan memohon?.” (Syair Abu Nawas yang dulu sering kuresapi, mengahangatkan, menyejukkan, semoga dapat menyuburkan kembali ladang hati yang terlanjur kering ini)
Kutemukan diriku telah terdampar di persimpangan kehidupan, aku harus menentukan jalan mana yang harus kutempuh. Aku tidak ingin tersesat, tapi nafsuku tetap saja melumat. Aku terdampar dalam sadar, menikmati gelisah dan jiwa yang semakin kering. Aku terdampar kini, setelah beberapa kali terjatuh, terlempar, lalu berjalan kembali, meski tertatih. Fikiranku menerawang jauh ke belakang. Menerawang sekitar Sembilan ratus Sembilan puluh Sembilan hari yang telah berlalu. Meski sulit, aku tetap berusaha menemukan diriku, diriku yang dulu. meski sering tersesat, sesekali kufikirkan bagaimana dulu kuukir taat.
Entah ini keberapa kali penyesalan itu muncul, entah. Kesadaran atas tindakan bejat menipu tuhan yang keberapa kalikah, aku tidak ingat persis. Aku juga tidak tahu pasti siapa dan apa yang membawaku ke sini, ke lembah hina. Fikiranku terus menerawang, sesekali jubah putih dan hijau lekat sekali dalam memoriku. Peci putih dan hitam, surban abi dan abang yang sering menghiasi leher dan badanku, sesekali kujadikan penghangat saat dingin menggigit. Fikiranku yang tak henti menerawang masa lalu itu, sepertinya penuh, penuh.
Kitab ta’lim yang dulu sering tangan ini memegangnya, sering mulut ini menyenandungkannya, kini aku tidak tahu entah dimana. Seakan jiwa tersesat, tak ada bekal untuk mengganjal iman yang kian hari kian lapar, tak ada air untuk menutupi haus jiwa yang kian hari kian kering. Tak ada lagi surban sebagai penghangat dan penutup aib diri sendiri. semua bagai sirna, tak ada lagi yang tersisa.
Aku tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana, bila-bila seandainya jatah umurku telah habis dan terhenti disini. Lalu aku ditanya oleh utusan-Nya, dalam himpitan tanah dan buaian gelap, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu? bagaimana solatmu? Bagaimana qiyammu? Bagaimana shaummu? Bagaimana tilawahmu? Bagaimana manfaat yang kau tebar? Bagaiaman matamu? Bagaimana hartamu? Bagaimana makananmu? Bagaimana pakaianmu? Bagaimana auratmu? Bagaimana ibumu? bagaimana ayahmu? Bagaimana lidahmu? Bagaimana orang disampingmu? Ah, aku tidak bisa membayangkan lagi, bagaimana harus kujawab semua pertanyaan itu.
Meski sudah terlalu jauh aku tersesat, tetap kubatinkan untuk terus kembali, kembali, meski tertatih, terjatuh, terhina, terlempar, dan meski harus merangkak.  Solatku? Aku harus menjawab apa? Aku tahu betul, ini adalah pertemuanku dengan tuhanku, tapi haruskah kukatakan bahwa kulakukan itu karena terpaksa? Haruskah kukatakan kulakukan itu karena ingin dibangga? Ingin dilihat? Ingin didengar? Beradabkah bila jawaban itu yang harus kucapkan. Hah, aku tidak siap. Tidak siap, sama sekali.
Masih dalam fikiran yang menerawang jauh ke belakang. Sesekali kuingat saat terjatuh, saat terdampar, saat itu pula tangan-tangan suci dan tulus mengangkatku, membantuku, mengobati laraku. Meski harus terjadi berulang-ulang.  Kini, adakah tangan itu? saat terjatuh, adakah yang siap membantuku untuk berdiri kembali? Saat terdampar dan tersesat, adakah yang siap menuntunku dan membimbingku kembali? Saat lara kian menganga, adakah yang siap mengobatiku? Aku ingin sekali, ada orang-orang seperti dulu di sampingku.
Aku ingat teori itu, bahkan sempat kuajarkan kembali kepada adik-adik kelasku. Dan bahkan itu yang menajdi senandung populer yang sering ku dengungkan. “dek, jika kamu memancing, maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Bila tenagamu lebih besar dari ikan yang memakan umpanmu, maka engkau akan mendapatkan ikan itu. namun bila sebaliknya, tenaga ikan itu lebih besar dari tenagamu, maka kamu yang akan ditarik oleh ikan itu, kamu akan tenggelam, basah, jika tidak mati, maka mungkin engkau akan pingsan, itupun jika ada yang menyelamatkanmu, atau jika ada keajaiban yang menghampirimu. Renungkan itu dek!” kurang lebih, seperti itu nasihatku beberap ratus hari yang lalu. Dan ingin ingin kukatakan nasihat itu lagi kepada diriku sendiri, kini.
Ya Allah, bimbing aku. Terimalah taubatku, ampuni dosaku.


0 komentar:

Posting Komentar