(Bojong Sari, 11:31 pm, 24/09/2012)
Ana ‘Inda Zhonni ‘Abdii Bii, Aku tergantung prasangka hambaKu kepadaKu. Itulah bunyi hadits qudsi yang pernah
kuterima dari guruku di pesantren. Hadist qudsi ini secara turun temurun
diajarkan, bahkan tidak jarang saat aku berpidato, kultum, dan sejenisnya
hadits qudsi ini yang mengiringi wejangan-wejangan andalanku. Aku begitu pecaya
dan tak ada keraguan sedikitpun. Terlebih ketika materi tentang takdir dalam
ilmu tauhid telah kuterima, akupun semakin mantap dengan hadits qudsi ini.
Hidup sebagai santri tidak bias digambarkan hanya dengan teori dan kata, kata
hanya perwakilan kecil saja, dan teori hanya hiasan kertas saja. Masa menjadi
santri adalah masa untuk menemukan jati diri karena mau tidak mau harus
berpisah dengan orang tua kandung yang posisi beliau digantikan oleh para guru
dan Pembina. Tertekan, terpaksa, diatur-atur dan ungakapan sejenisnya pastilah
telah dirasakan oleh siapa saja yang pernah menyandang gelar santri. Itu
manusiawi, itu wajar, khususnya bagi para santri pemula.
Bukan waktu
yang singkat, enam tahun lamanya aku hidup di penjara suci “pesantren”. Banyak
hal yang telah teralami, banyak hikmah yang telah tersingkap, banyak rahasia
yang tak lagi dihijab. Mulai dari
menyandang gelar “tholib jaded” hingga gelar “ro-is munazzhomat
attholabah” atau biasa juga disebut “ro’-is mudabbirin” telah terlewati. Banyak
hal yang terjadi, pahit manis telah menyatu, senyum tawa dan tangis telah
bercampur menjadi bumbu harmoni kehidupan, penuh warna dan corak pengalaman. Muali
dari berpidato satu-satu, mengulang hafalan dua-dua, dan mekan bersama-sama
telah terlewati. Kantuk subuh yang sering menjadi tragedy tak dapat dilupakan,
cemeti hukuman yang sering menghantui pun kini dirindukan. Subhanallah
walhamdulillah alldzi bini’matihi tutimmu assolihat,Maha Suci Allah yang dengan
nimat-Nya sempurnalah kebaikan-kebaikan.
Ujian
nasional telah berhasil kutaklukkan, ujian masuk perguruan tinggi juga sudah
beres, beasiswa pendidikan pun telah kuterima. namun ada ujian satu lagi yang
nampaknya dan memang kurasakan ujian ini lebih berat dari ujian-ujian yang
telah kulewati. Sebab ujian ini bukan berlomba menjawab essai atau sekedar
memilih a,b,c,d, atau e. dia adalah ujian kesabaran, ujian ketabahan, ujian
keimanan, ujian totalitas penghambaan.
Ada rentang
waktu satu bulan sejak pengumuman lulus mahasiswa baru sampai mausuk propeka
(ospek), pada waktu inilah ujian itu datang. Sambil menunggu waktu masuk kampus,
untuk memperbaiki kemapuan bahasa inggrisku aku pergi ke kampong inggris
Pare-Kediri. Subhanallah, disana ada manusia-manusia yang tidak pernah kenyang
ilmu, seakan tidak ada waktu mereka yang tersia-siakan. Sayang sekali, saya
datang tanggal 02, sementara pendafataran kursus ditutup pada tanggal 25 dan
10. Akhirnya saya harus menunggu datangnya tanggal sepuluh, hanya
program-program camp yang dapat saya ikuti. Alhamdulillah.
Sudah tiga
minggu di kampong inggris, tiba-tiba pinggangku terasa nyeri dan sakit sekali,
kaku. Sahabat setiaku membawaku ke tukang urat karena disangka aku keseleo,
tapi hasilnya nihil. Setelah itu, akupun dibawa ke dokter, anjuran dan saran
dokterpun kulakukan, and hasilnya nihil. Sudah dua hari aku izin tidak masuk
kelas, sudah banyak ilmu yang tidak kudapatkan. Do’a-do’a tak pernah putus
kupanjatkan sembari menghibur diri dengan ayat-ayat suci-Nya. “aaah.. ini hanya
cobaan kecil yang Allah berikan untukku, karena sebentar lagi aku akan mendapat
gelar “mahasiswa”. Memakai sepedapun aku merasa kesulitan, sehingga kamarlah
yang menjadi tempat bertapaku selama beberapa hari. Aku merasa baikan,
Alhamdulillah. Dan tiba tiba hp-ku bordering tanda pesan masuk, “Aslkum.
Teman-teman Dyinamic Speaking, insyaallah kita akan mengadakan rekreasi pada
hari minggu ke Gunung Salak, dan Makam Soekarno, karena minggu depan bulan
ramdhan sudah tiba. Jangan ada yang berhalangan ya..!” kurang lebih seperti
itulah pesan singkat yang dikirim Eva teman kelasku. Hati kecilku pun
mengiyakan ide itu dan akupun segera konfirmasi keikutsertaanku. Mengingat kata
“gunung” dalam sms tadi, aku sempat khawatir dengan kesehatanku. Ana ‘inda zhonni ‘abdi bii, Aku tergantung
prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Lagi-lagi hadits Qudsi ini yang kuiangat,
akupun berhusnuzon dengan Allah. “Ya Allah semoga dengan rihlah gunung ini
Engkau sembuhkan penyakitku” pintaku dalam hati.
Seusai
rihlah dilakasnakan, ternyata kesehatanku semakin buruk. Keadaanku tidak sesuai
dengan prasangkaku, aku kembali mengingat hadits qudsi itu. Dengan beberapa
pertimbangan, hasilnya kuputuskan untuk kembali ke kampung halaman.
Ada bebrapa
tetes air mata yang nampaknya menemaniku di bandara, saat naik tangga menuju
ruang tunggu ternyata aku sudah tidak kuat lagi memikul tas yang ada di
pundakku. Tas itupun kuturnkan ke lantai sambil megambil nafas dalam-dalam. Di
fikiranku hanya ada Allah yang teringat, aku sudah tidak peduli lagi dengan
siapapun, meski aku harus berjalan dengan posisi badan agak miring ke kanan.
Setiap tiga meter aku berhenti karena tidak kuat, untung saja ada office boy
yang berbaik hati mengambilkanku keranjang roda, akhirnya akupun sedikit merasa
ringan. “terima kasih pak” ucapku sambil ku ikuti dengan kata hati “aku yakin,
Allah sedang menatapku dan Dialah yang menggerakkan OB itu mengantarkan
keranjang roda yang entah dari mana”. Husnuzon demi husnuzhon terus kulakukan
dalam setiap pergulatan menit waktu. Akhirnya akupun sampai di ruang tunggu.
Penerbangan ditunda selama dua jam karena kterlambatan pesawat dari Jakarta.
Setiap detik terus kunikmati di ruang tungg, ingin sekali aku berbaring untuk
melemaskan otot-otot yang masih terasa nyeri, tapi aku malu. Hingga akhirnya
Allah kembali mengirim dua orang untuk menghampiriku, dan keduanya berasal sama
denganku. Senang sekali rasanya meski ia terus mengasihiku. Menjelang naik ke
pesawat, dua orang ini mengambil tas dan barang bawaanku, tak ada yang bersisa.
“biarlah kami yang membawa ini untukmu, marilah bersama kami” katanya padakau.
“baik sekali orang ini” bisik hatiku.
Welcome to
Lombok International Air Port, tiba juga akhirnya di daerah tercinta. Kedua
orang itu kembali mengangkatkanku tas dan barang-barang bawaanku sampai mobil
yang menjemputku. “terimaksih pak, buk, semoga Allah membalas kebaikan
plungguh” ungkapku pada mereka.
Setelah
melakukan beberapa pengbatan alternative, Alhamdulillah kesehatanku membaik.
Kulihat ada banyak santri yang sedang bergotong royong mengangkat batu untuk
pembangunan masjid, lagi-lagi dalam hati aku berhusnuzon dengan Allah. “Ya
Allah, keadaanku telah membaik, izinkankan aku untuk berterimaksih kepada-Mu
dengan ikut gotong royong pembangunan rumah-Mu, Insyaallah setelah gotong
royong keadaanku akan lebih baik” bisikku pada Allah dalam hati.
Lagi-lagi,
husnzonku tak sesuai dengan kenyataan yang kuterima. kesehatan semakin buruk
dan terus memburuk. Hampir saja aku putus asa… hampir saja aku protes terhadap
Allah, akupun menulis surat kecil untuk Allah.
Karena
kesehatanku yang terus memburuk, akhirnya keluarga menyarankan untuk menjalani
rongten terlebih dahulu. Hasiil rongten sangat jelas, tulang punggungku bengkok
dan dokter hanya bisa menyarankan untuk terapi agar dapat mengurangi sakit tapi
sulit untuk diluruskan kembali…
Hampir saja
aku putus asa….
Aku kembali
menggunakan pengobatan alternative, seraya tak henti-hentinya berdo’a kepada
Allah agar segera disembuhkan. Tiga hari lagi aku harus berangkan ke kampus
untuk mengikuti propeka/ospek, sementara keadaan belum terlalu baik. “optimis
dan yakinlah, engkau pasti bisa” pesan pendek dari kakakku.
Dan saat aku
menulis ini, satu bulan sudah lamanya perkuliahan kujalani. Dan buktinya aku
mampu sperti mahasiswa lainnya, cara jalan yang sedikit agak berbeda tidak
menjadi masalah. Dan kini aku merasa jauh lebih baik.
Rentetatn
ujian dan pristiwa itu bisa kulewati, dan akhrnya Allah memberikan jawaban.
Inilah yang terbaik. “Bisa jadi enkau
membenci sesuatu, tapi itu yang terbaik bagimu. Al-qur’an.”
Satu hal
yang ingin saya pesankan, saat anda ditimpai ujian, segeralah berhusnuzon
kepada-Nya, tetaplah otimis, dan jangan pernah putus asa. Maka saksikanlah ada
satu rahasia yang Allah buka hijabnya untukmu.
Tetap
optimis dalam setiap keadaan.
Salam cinta,
Multazam
Zakaria
0 komentar:
Posting Komentar