Meracik Makna

“Apapun alasan yang ada, saya memang senang menulis dan saya akan memenuhi keinginan saya untuk tetap menulis. Jika apa yang saya tulis adalah sesuatu yang benar maka alhamdulillah, tetapi jiika tidak maka astagfirullah. (Hasan alBanna)

Selasa, 25 September 2012


(Bojong Sari, 11:31 pm, 24/09/2012)
Ana ‘Inda Zhonni ‘Abdii Bii, Aku tergantung prasangka hambaKu kepadaKu. Itulah bunyi hadits qudsi yang pernah kuterima dari guruku di pesantren. Hadist qudsi ini secara turun temurun diajarkan, bahkan tidak jarang saat aku berpidato, kultum, dan sejenisnya hadits qudsi ini yang mengiringi wejangan-wejangan andalanku. Aku begitu pecaya dan tak ada keraguan sedikitpun. Terlebih ketika materi tentang takdir dalam ilmu tauhid telah kuterima, akupun semakin mantap dengan hadits qudsi ini. Hidup sebagai santri tidak bias digambarkan hanya dengan teori dan kata, kata hanya perwakilan kecil saja, dan teori hanya hiasan kertas saja. Masa menjadi santri adalah masa untuk menemukan jati diri karena mau tidak mau harus berpisah dengan orang tua kandung yang posisi beliau digantikan oleh para guru dan Pembina. Tertekan, terpaksa, diatur-atur dan ungakapan sejenisnya pastilah telah dirasakan oleh siapa saja yang pernah menyandang gelar santri. Itu manusiawi, itu wajar, khususnya bagi para santri pemula.

Bukan waktu yang singkat, enam tahun lamanya aku hidup di penjara suci “pesantren”. Banyak hal yang telah teralami, banyak hikmah yang telah tersingkap, banyak rahasia yang tak lagi dihijab. Mulai dari  menyandang gelar “tholib jaded” hingga gelar “ro-is munazzhomat attholabah” atau biasa juga disebut “ro’-is mudabbirin” telah terlewati. Banyak hal yang terjadi, pahit manis telah menyatu, senyum tawa dan tangis telah bercampur menjadi bumbu harmoni kehidupan, penuh warna dan corak pengalaman. Muali dari berpidato satu-satu, mengulang hafalan dua-dua, dan mekan bersama-sama telah terlewati. Kantuk subuh yang sering menjadi tragedy tak dapat dilupakan, cemeti hukuman yang sering menghantui pun kini dirindukan. Subhanallah walhamdulillah alldzi bini’matihi tutimmu assolihat,Maha Suci Allah yang dengan nimat-Nya sempurnalah kebaikan-kebaikan.
Ujian nasional telah berhasil kutaklukkan, ujian masuk perguruan tinggi juga sudah beres, beasiswa pendidikan pun telah kuterima. namun ada ujian satu lagi yang nampaknya dan memang kurasakan ujian ini lebih berat dari ujian-ujian yang telah kulewati. Sebab ujian ini bukan berlomba menjawab essai atau sekedar memilih a,b,c,d, atau e. dia adalah ujian kesabaran, ujian ketabahan, ujian keimanan, ujian totalitas penghambaan.
Ada rentang waktu satu bulan sejak pengumuman lulus mahasiswa baru sampai mausuk propeka (ospek), pada waktu inilah ujian itu datang. Sambil menunggu waktu masuk kampus, untuk memperbaiki kemapuan bahasa inggrisku aku pergi ke kampong inggris Pare-Kediri. Subhanallah, disana ada manusia-manusia yang tidak pernah kenyang ilmu, seakan tidak ada waktu mereka yang tersia-siakan. Sayang sekali, saya datang tanggal 02, sementara pendafataran kursus ditutup pada tanggal 25 dan 10. Akhirnya saya harus menunggu datangnya tanggal sepuluh, hanya program-program camp yang dapat saya ikuti. Alhamdulillah.
Sudah tiga minggu di kampong inggris, tiba-tiba pinggangku terasa nyeri dan sakit sekali, kaku. Sahabat setiaku membawaku ke tukang urat karena disangka aku keseleo, tapi hasilnya nihil. Setelah itu, akupun dibawa ke dokter, anjuran dan saran dokterpun kulakukan, and hasilnya nihil. Sudah dua hari aku izin tidak masuk kelas, sudah banyak ilmu yang tidak kudapatkan. Do’a-do’a tak pernah putus kupanjatkan sembari menghibur diri dengan ayat-ayat suci-Nya. “aaah.. ini hanya cobaan kecil yang Allah berikan untukku, karena sebentar lagi aku akan mendapat gelar “mahasiswa”. Memakai sepedapun aku merasa kesulitan, sehingga kamarlah yang menjadi tempat bertapaku selama beberapa hari. Aku merasa baikan, Alhamdulillah. Dan tiba tiba hp-ku bordering tanda pesan masuk, “Aslkum. Teman-teman Dyinamic Speaking, insyaallah kita akan mengadakan rekreasi pada hari minggu ke Gunung Salak, dan Makam Soekarno, karena minggu depan bulan ramdhan sudah tiba. Jangan ada yang berhalangan ya..!” kurang lebih seperti itulah pesan singkat yang dikirim Eva teman kelasku. Hati kecilku pun mengiyakan ide itu dan akupun segera konfirmasi keikutsertaanku. Mengingat kata “gunung” dalam sms tadi, aku sempat khawatir dengan kesehatanku. Ana ‘inda zhonni ‘abdi bii, Aku tergantung prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Lagi-lagi hadits Qudsi ini yang kuiangat, akupun berhusnuzon dengan Allah. “Ya Allah semoga dengan rihlah gunung ini Engkau sembuhkan penyakitku” pintaku dalam hati.
Seusai rihlah dilakasnakan, ternyata kesehatanku semakin buruk. Keadaanku tidak sesuai dengan prasangkaku, aku kembali mengingat hadits qudsi itu. Dengan beberapa pertimbangan, hasilnya kuputuskan untuk kembali ke kampung halaman.
Ada bebrapa tetes air mata yang nampaknya menemaniku di bandara, saat naik tangga menuju ruang tunggu ternyata aku sudah tidak kuat lagi memikul tas yang ada di pundakku. Tas itupun kuturnkan ke lantai sambil megambil nafas dalam-dalam. Di fikiranku hanya ada Allah yang teringat, aku sudah tidak peduli lagi dengan siapapun, meski aku harus berjalan dengan posisi badan agak miring ke kanan. Setiap tiga meter aku berhenti karena tidak kuat, untung saja ada office boy yang berbaik hati mengambilkanku keranjang roda, akhirnya akupun sedikit merasa ringan. “terima kasih pak” ucapku sambil ku ikuti dengan kata hati “aku yakin, Allah sedang menatapku dan Dialah yang menggerakkan OB itu mengantarkan keranjang roda yang entah dari mana”. Husnuzon demi husnuzhon terus kulakukan dalam setiap pergulatan menit waktu. Akhirnya akupun sampai di ruang tunggu. Penerbangan ditunda selama dua jam karena kterlambatan pesawat dari Jakarta. Setiap detik terus kunikmati di ruang tungg, ingin sekali aku berbaring untuk melemaskan otot-otot yang masih terasa nyeri, tapi aku malu. Hingga akhirnya Allah kembali mengirim dua orang untuk menghampiriku, dan keduanya berasal sama denganku. Senang sekali rasanya meski ia terus mengasihiku. Menjelang naik ke pesawat, dua orang ini mengambil tas dan barang bawaanku, tak ada yang bersisa. “biarlah kami yang membawa ini untukmu, marilah bersama kami” katanya padakau. “baik sekali orang ini” bisik hatiku.
Welcome to Lombok International Air Port, tiba juga akhirnya di daerah tercinta. Kedua orang itu kembali mengangkatkanku tas dan barang-barang bawaanku sampai mobil yang menjemputku. “terimaksih pak, buk, semoga Allah membalas kebaikan plungguh” ungkapku pada mereka.
Setelah melakukan beberapa pengbatan alternative, Alhamdulillah kesehatanku membaik. Kulihat ada banyak santri yang sedang bergotong royong mengangkat batu untuk pembangunan masjid, lagi-lagi dalam hati aku berhusnuzon dengan Allah. “Ya Allah, keadaanku telah membaik, izinkankan aku untuk berterimaksih kepada-Mu dengan ikut gotong royong pembangunan rumah-Mu, Insyaallah setelah gotong royong keadaanku akan lebih baik” bisikku pada Allah dalam hati.
Lagi-lagi, husnzonku tak sesuai dengan kenyataan yang kuterima. kesehatan semakin buruk dan terus memburuk. Hampir saja aku putus asa… hampir saja aku protes terhadap Allah, akupun menulis surat kecil untuk Allah.
Karena kesehatanku yang terus memburuk, akhirnya keluarga menyarankan untuk menjalani rongten terlebih dahulu. Hasiil rongten sangat jelas, tulang punggungku bengkok dan dokter hanya bisa menyarankan untuk terapi agar dapat mengurangi sakit tapi sulit untuk diluruskan kembali…
Hampir saja aku putus asa….
Aku kembali menggunakan pengobatan alternative, seraya tak henti-hentinya berdo’a kepada Allah agar segera disembuhkan. Tiga hari lagi aku harus berangkan ke kampus untuk mengikuti propeka/ospek, sementara keadaan belum terlalu baik. “optimis dan yakinlah, engkau pasti bisa” pesan pendek dari kakakku.
Dan saat aku menulis ini, satu bulan sudah lamanya perkuliahan kujalani. Dan buktinya aku mampu sperti mahasiswa lainnya, cara jalan yang sedikit agak berbeda tidak menjadi masalah. Dan kini aku merasa jauh lebih baik.
Rentetatn ujian dan pristiwa itu bisa kulewati, dan akhrnya Allah memberikan jawaban. Inilah yang terbaik. “Bisa jadi enkau membenci sesuatu, tapi itu yang terbaik bagimu. Al-qur’an.”
Satu hal yang ingin saya pesankan, saat anda ditimpai ujian, segeralah berhusnuzon kepada-Nya, tetaplah otimis, dan jangan pernah putus asa. Maka saksikanlah ada satu rahasia yang Allah buka hijabnya untukmu.
Tetap optimis dalam setiap keadaan.
Salam cinta,                                                                                                                                                                 Multazam Zakaria
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar